Resume IDI TM 4 : Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani

Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani

EPISTEMOLOGI BAYANI

Bayani atau penalaran berdasarkan teks adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlâl). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
  • Perkembangan Bayani
Istilah bayânî dari kata bahasa Arab bayân, berarti penjelasan (eksplanasi). Sementara itu, secara terminologi, bayân mempunyai dua arti, yaitu (1) sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawânîn tafsîr al-khithâbi) dan (2) syarat-syarat memproduksi wacana (syurûth intâj al-khithâb).
Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada  di dalamnya. Pada masa Al-Syafii (767–820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furû`). Sedangkan dari segi metodologi, Al-Syafii membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan: 

(1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam Al-Quran sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya; 
(2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah; 
(3) bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah; 
(4) bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Quran; 
(5) bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Quran maupun sunnah. 
  • Sumber Pengetahuan
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang  dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Al-Quran dan hadist. 
  • Cara Mendapat Pengetahuan
   Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf sebagai alat analisis. Kedua, menggunakan metode qiyâs (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushûl al-fiqh, qiyâs diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah.

EPISTEMOLOGI IRFANI

Epistemologi irfani atau penalaran berdasarkan intuisi adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, di samping bayani dan burhani. Epistemologi ini dikembangkan dan digunakan dalam masyarakat sufi, berbeda dengan epistemology burhani yang dikembangkan oleh para filosof dan epistemology bayani yang dikembangkan dan digunakan dalam keilmuan-keilmuan Islam pada umumnya.

  •  Irfan, Etika, dan Filsafat
Menurut Muthahhari (1920–1979 M), irfan terdiri atas 2 aspek: praktis dan teoretis. Aspek praktis adalah bagian yang mendiskusikan hubungan antara manusia dengan alam dan hubungan antara manusia dan Tuhan. Dalam hal ini, irfan praktis menjelaskan berbagai kewajiban yang muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya hubungan-hubungan tersebut yang harus dilakukan manusia. Misalnya, orang yang ingin “mengenal” Tuhan harus menempuh perjalanan spiritual lewat tahapan-tahapan tertentu (maqâm) dan kondisi-kondisi batin tertentu (hâl). Sebab, bagi kaum irfan, mengenal Tuhan berarti mengenal keesaan-Nya, mengenal keesaan-Nya berarti memahami bahwa Dia adalah satu-satunya wujud yang benar-benar ada, karena keberadaan sesuatu selain-Nya hanya ilusi belaka. Pemahaman ini, menurut kaum sufi, tidak dapat dicapai lewat pemikiran rasional tetapi dengan membersihkan hati dan melakukan perjalanan spiritual sehingga seseorang yang telah mencapai tingkatan tertentu tidak akan melihat sesuatu yang lain kecuali hanya Allah.

  • Perkembangan Irfan
Perkembangan irfan, secara umum, bisa dibagi dalam lima fase. Pertama, fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini, apa yang disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhûd (askestisme). Kenyataan ini, menurut Thabathaba’i (1892–1981 M), karena para tokoh irfan yang dikenal sebagai orang-orang suci tidak berbicara tentang irfan secara terbuka, meski mengakui bahwa mereka dididik dalam spiritualitas oleh Rasul (571–632 M) atau para sahabat.
  • Sumber Pengetahuan
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas kekuatan rasional seperti burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks atau keruntutan logika, tetapi berdasarkan atas terlimpahnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana pencapaian pengetahuan irfan siap untuk menerimanya.
 

     EPISTEMOLOGI BURHANI


     Berbeda dengan epistemologi bayani atau pengetahuan berdasarkan prinsip logika yang mendasarkan diri pada teks dan irfani yang mendasarkan diri pada intuisi atau pengalaman spiritual, burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal, yang dilakukan lewat dalil- dalil logika.

  • Perjalanan Burhani
Menurut Al-Jabiri, 3 prinsip-prinsip logis yang digunakan dalam burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili), yaitu suatu sistem berpikir (pengambilan keputusan) yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi hamliyah (categorical proposition), atau proposisi syarthiyah (hypothetical proposition) dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kajiannya: kuantitas, kualitas, ruang, waktu, dan seterusnya.
  • Bahasa dan Logika
Salah satu persoalan yang dikaji dan muncul dalam burhani adalah masalah bahasa dan logika. Masalah ini muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu Said Al-Syirafi (893-979 M) dan Abu Bisyr Matta (870–940 M).15 Menurut Al-Syirafi, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing.16 Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu dibanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.17 Perbedaan perspektif dalam diskusi tersebut sesungguhnya juga menunjukkan perbedaan tradisi atau budaya masing-masing.
Berdasarkan hal tersebut, makna atau logika berarti lebih dahulu dan lebih fundamental dibanding bahasa, dan wilayah kerja logika berada dalam pemikiran bukan pada kata-kata atau bahasa.
  • Peran bagi Epistem Berikutnya
Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding dua epistemologi yang lain ternyata ditemui mengandung kekurangan bahwa ia tidak bisa menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. 



Sumber : Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer by Achmad Khudori Soleh (z-lib.org)


i

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOMPILASI URL UHAMKA OLEH Pani Arini Putri (1901065026)

Tugas 9 [Pani 1901065026] : Tiga Kelompok Kecerdasan Tiruan

Tugas 3 Pani Arini Putri : Revolusi Industri dan TI PTI1C21